Halaman

Sakura Trees

Sabtu, 16 Juni 2012

Fanfiction Reita x Ruki _Arigatou...


Title                 : Arigatou...
Chapter           : Oneshoot!!!
Fandom           : The GazettE
Genre              : drama life, romance, familly
Rated              : kagak teu...gomen yak..*dilempar mic*
Pairing             : ayo tebaaak!!! *dilempar bass* iye iye ini Reituki. Puas??? /(T.T)\
Disclaimer      : Akang Ruki sang pokalist nan kawaii nan kakkoi mo nan bantet nan boncel juga *plak plak plak xD* adalah milik sang author nan kawaii*ikut narsis dikit* plak!#
NOTE             : fic ini tercipta saat ada orang kecelakaan 3 sepeda sekaligus tepat di depan rumah ane. Jadi gomen banget kalo gariiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiing bgt.
NP#  GazettE_ Cassis, The GazettE_Untitled


どうぞ。。.

Bermain di bawah langit musim semi yang cerah sangat menyenangkan. Meskipun udaranya yang maih cukup dingin, namun keindahan ini menjadi ciri khas tersendiri dari cuaca ini.

Musim semi...
Yaah musim kesukaanku sekaligus musim kedukaanku. Sudah beberapa kali aku melewati musim ini. Dan tiap kali musim ini datang, memori tentangnya selalu datang. Seakan musim ini membawa kenangannya bersamanya.

“Kaachan...” panggil seorang anak laki laki itu padaku. Dan kalian tahu bukan hubunganku dengan anak laki laki ini.
“Kaachan kenapa? Kok sedih?...” tanyanya polos.
“Tidak, sayang... kaachan  baik baik saja kok...” jawabku sambil tersenyum lembut padanya.

Iya. Dia putraku. Bocah berumur 12 tahun dengan tubuh yang cukup gemuk, berambut pirang dengan mata yang cukup lebar. Matanya ini sepertinya warisan dariku. Aku boleh bertaruh pasti suatu saat dia akan menjadi pemuda yang tampan seperti dia. Ya seperti dia...

“Kaachan~ “ rengekkannya kembali menyadarkanku dari lamunanku.
“Eh ada apa, sayang?...” tanyaku sambil ku elus pelan rambutnya.
“Emm...apa Kaachan tidak akan marah?” tanyanya takut.
Kuhentikan tanganku, “Marah? Apa Uechan berbuat nakal lagi?”
“Eh bu..bukaaan~ bukan begitu Kaachan...
Kupicingkan mataku, “Lalu?”
“Ada apa, Uechan? kalau Uechan tidak berbuat nakal tidak perlu takut. Bersikaplah seperti ayahmu yang selalu berani bersikap selagi dia benar.” Tuturku sambil tersenyum hangat padanya.
Dia membulatkan matanya, “Eh Kaachan, sebenarnya itu yang ingin Ue tanyakan. Ue ingin mendengar cerita tentang Otouchan...”

DEG
Seketika tubuhku membeku. Ternyata tanpa kusadari kini putraku sudah beranjak tumbuh dewasa. Meski umurnya masih 12 tahun, bukannya aku membanggakan dia. Tapi dia tergolong anak yang cerdas. Dia mewarisi kecerdasan ayahnya.

Ayahnya? Ya ayahnya... selama ini aku tidak pernah menceritakan tentang ayahnya padanya. Bukan karena alasan yang buruk aku tidak pernah menceritakan tentangnya. Hanya saja aku yang merasa takut. Merasa takut harus merasakan kepedihan itu. Aku hanya mengatakan beberapa sifat dan sikap yang ayahnya milikki.
“Kaachan marah?...” tanyanya takut dengan wajah pucat.

Aku hanya terkikik geli melihat raut wajahnya. Membuatnya menatapku keheranan.

“Kaachan baik baik saja?” tanyanya cemas.
“Hihihi... Kaachan baik baik saja. Jadi Uechan benar benar mau mendengarkan cerita tentangnya?” tanyaku lagi.
“Yap! Aku ingin mendengar cerita tentang Otouchan. Hmm tapi Ue punya pertanyaan untuk Kaachan sebelumnya.”
“Hm? Apa?”
“Itu...err aku ini benar benar anak kandung Kaachan kan?” tanyanya ragu.
“Tentu saja. Uechan itu putra kandung Kaachan.”
“Tapi kan Kaachan...”
Hmm aku mulai tahu arah pertanyaannya sekarang. Kuhembuskan pelan nafasku. Aku tahu ini semua harus diceritakan padanya. Lambat laun pasti hari ini akan tiba juga.

“Begini. Mungkin bagi kamu Kaachan dan Touchanmu ini menjijikkan bukan?” tanyaku.
“...” dia hanya terdiam menatapku dan aku hanya tersenyum simpul padanya.

>_</

Ada alasannya aku bertanya begini. Karena sejak kecil dia selalu ditanyai siapa ayah dan ibunya. Karena dia masih kecil dia selalu menjawab akulah ibunya. Dan tiap kali dia menjawabnya, dia selalu ditertawakan dan dihina temannya atau orang orang yang bertanya padanya. Dia selalu saja datang ke pangkuanku sambil menangis.

Itu sudah pasti terjadi padanya. Mana ada seorang anak mempunyai seorang ibu laki laki? Itu aneh bukan? Ditambah lagi ayahnya juga laki laki. Ya aku dan ayahnya adalah sejenis. Kami berdua adalah laki laki. Namun cinta kami tidak kalah oleh cinta para pasangan yang normal. Hadirnya Ue pun itu sungguh sebuah berkah yang luar biasa. Dia bisa lahir dari dalam rahimku meski aku laki laki.

Aku dan dia—Reita saat itu sangat bingung namun sangat bahagia. Kami berdua sejak kehadiran Ue dalam rahimku selalu berusaha merawatnya dengan baik. Apalagi Reita. Dia sangat protektif padaku.

“Kau ini jangan terlalu lelah, Ruu. Tidak kasihan apa dengan anak kita?” omelnya saat aku ketahuan sedang bersih bersih rumah.
“Jadi kau hanya kasihan pada bayi ini?” protesku sambil kugembungkan pipiku.
Dia hanya tersenyum lalu mengecup bibirku lembut, “Kau bicara apa? aku juga sangat mengkhawatirkan ibunya...” godanya sambil mengelus lembut perutku yang sudah buncit.

Ya. Hari hari saat itu sungguh menyenangkan. Hingga akhirnya Ue pun lahir ke dunia ini. Reita bertambah senang ketika tahu anak kami terlahir laki laki. Dia dengan semangat menggendongnya dan memperlihatkan padaku. Bahkan kami sempat berdebat anak kami lebih mewarisi sifat dan wajah antara kami.

“Kau lihat, Ruu. Rambutnya sama sepertiku. Rambut yang keren. Mirip sekali dengan ayahnya yang tampan ini. Huhuhu...” pamernya sambil memangku Ue disampingku.
“Huh kata siapa dia mirip denganmu!? Lihat. Matanya cukup lebar kan? Dia mirip denganku..” protesku.
“Cuma mata saja kan?? Lihat. Kulitnya sama denganku. Pasti dia akan gagah sepertiku. Tidak seperti kulitmu seputih susu itu. Bisa bisa dia jadi uke sepertimu...” cibirnya.
“Heh kau menghinaku ya? Maaf saja ya kalau aku lebih seperti wanita daripada pria. Huh! Tapi untunglah hidungnya menurun dariku. Kalau tidak, pasti hidungnya pun pasti tenggelam seperti itu. Aku tidak rela putraku ini jadi seperti itu.” Sindirku lebih pedas.
Dia melotot kearahku dan aku tak peduli, “Hah kau ini. Terserahlah...”

Aku tertawa melihat reaksinya. Sedangkan dia hanya mendengus. Namun tiba tiba dia terdiam dan merenung. Aku jadi khawatir kalau aku melukainya.

“Reita... kau marah?” tanyaku takut.
“Eh tidak. Kenapa harus marah? Aku hanya sedang memikirkan nama anak kita.”
Aku menepuk dahiku sendiri, “Ya Tuhan aku hampir lupa. Lalu apa kau sudah menemukannya?” tanyaku sambil menatap bayi merah di pangkuannya.
“Hmm ada sedikit...” katanya sambil menerawang.
“Siapa?”
“Ehmmm....Akira.” katanya mantap sambil mencium bayi kami.
“Akira?? Suzuki Akira...” gumamku lirih.
“Iya. Bagaimana? Bagus dan keren kan??” tanyanya bangga.
Ya untuk satu ini memang kuakui kalau itu nama yang bagus, “Ya ya ya bagus...”
“Uechaaaan~” panggilku gemas sambil mencium bibir bayi kami.
“Hoo?? Uechan? Itukan namaku dulu?” protesnya.
“Kenapa? Aku kan hanya ingin mengenang dirimu pada anak ini.” Protesku.
“Kau kira aku sudah mati apa?” tanyanya lalu tiba tiba dia mencium bibirku lembut.
“Rei—“
“Terimakasih atas kebahagiaan yang telah kau berikan padaku...” katanya lembut dan menciumku lagi. Kali ini lebih lama dan hangat.

>_</

Kuhela nafasku dalam. Dan aku berhenti bercerita sejenak. Pada bagian inilah aku masih tidak sanggup menceritakannya. Aku sudah menduganya.

“Kaachan~ kenapa berhenti? Aku ingin tahu selanjutnya. Jadi Uechan itu panggilan Touchan waktu kecil ya?” tanyanya polos.
Aku hanya tersenyum dan membelai rambutnya saat dia tiduran dipahaku. Rambut yang lembut. Pirang. Rambut yang sama...

“Kaachan? Kenapa diam? Apa ini berhubungan dengan perginya Touchan? Kalau tidak mau cerita tidak apa...” katanya. Ternyata dia menyadari perasaanku. Aku sungguh bahagia memiliki anak sepertinya.
“Kaachan jangan menangis. Aku jadi takut dimarahi Touchan nanti...” guraunya.
“Hahaha... iya... Kaachan lanjutkan deh...”

>_</


Tidak pernah kusangka aku harus kehilangan dia secepat ini. Padahal kami baru saja merasakan kebahagiaan baru di keluarga kecil kami. Tapi tak kusangka dia harus pergi. Pergi meninggalkanku dan Uechan.

Tepat di pertengahan musim semi. Waktu itu umur Uechan baru 1 tahun. Kami bertiga pergi berpiknik di sebuah taman yang indah. Waktu itu kami sedang menikmati mekarnya bunga sakura.

Saat itu Uechan menangis terus menerus. Aku sudah mencoba menenangkannya. Namun dia tetap menangis. Kami berdua sempat kewalahan. Dan sialnya, susunya juga tertinggal. Dan terpaksa Reita pulang sendiri dan menyuruhku tetap tinggal disini. Saat itu entah kenapa aku merasa sangat cemas. Uechan pun menangis semakin keras.

“Aku ikut!”
“Tidak, Ruu. Kau harus tetap disini. Tetap jagalah Uechan baik baik. Biar aku pergi.”
“Tapi—“
Dia membungkam bibirku dengan bibirnya, “Kumohon ini permintaanku, Ruu. Tetaplah disini. Hati hatilah. Aku mencintaimu dan Uechan...”
“Re...” aku merasa takut saat itu. Tidak biasanya dia menciumku hanya untuk pergi sebentar. Kecuali kalau mau berangkat kerja.

Lama sekali aku menunggunya. Tapi ia tak kunjung datang. Sedangkan Uechan masih tetap gelisah meski sudah tidak menangis sekeras tadi.

“Rei—“

BRUAKK! GRUSAAK!!! DUASHH!

Seketika aku menoleh kearah ujung taman ini. Dan tiba tiba saja tempat itu dikerumuni banyak orang. Entah apa yang mendorongku hingga aku bisa berlari kencang kearah suara itu, padahal aku paling lemah dalam lari. Kuterobos kerumunan itu hingga aku bisa di barisan depan sendiri.

“REITAAA!!!!”

Dia kecelakaan. Mobil kami hancur berantakkan. Aku semakin terkejut saat melihat tubuh Reita keluar sebagian dari pintu mobilnya yang terbuka.

“Re...reitaa...”

Pandanganku semakin kabur saat melihat tubuhnya berlumuran darah. Wajah yang lembut dan tampan kini ternoda darah. Pakaian yang bersih dan rapi kini terkoyak bercipratan darah.

“Reita...reita...” panggilku kacau.

Perlahan kudekati dirinya. Beberapa petugas keamanan mencegahku. Namun semua dapat kusingkirkan dengan mudah. Entah kekuatan darimana. Padahal tubuhku pun kini sudah tidak kuat lagi. Kupegangi wajahnya dan kubersihkan darahnya dengan tanganku. Kupanggil namanya. Namun dia tetap bisu. Kupeluk dia dengan Uechan dalam dekapanku. Saat itu pula aku menyadari.

Jantungnya...

Tidak lagi berdetak.

Segera kulepaskan pelukanku dan kutatap wajahnya dengan gemetar. Tidak mungkin! Tidak mungkin dia mati! Itulah yang ada dikepalaku. Airmataku semakin banyak berjatuhan. Aku menangis. Aku berteriak. Aku berteriak memanggilnya. Mencacinya. Berharap dia membuka matanya dan membungkam mulutku dengan bibir keringnya. Memberiku dekapan hangatnya. Memberikan senyum lembutnya. Tatapan teduhnya. Kemudian mencium Uechan yang ada di dekapanku.

“REITAA!! REITA! REITA! PESEK BANGUNLAH! JANGAN BUAT AKU DAN UECHAN MENANGIS! MANA SUSU UECHAN!? DIA MENAGIS MENUNGGUMU! BANGUN BODOH!! KALAU TIDAK AKU DAN UECHAN AKAN MEMBENCIMU! MEMBENCIMU SELAMANYA!!” teriakku histeris sebelum aku pingsan di dekatnya.

Saat kuterbangun. Kusadari aku ada di rumah sakit bersama Uechan disampingku. Saatku terbangun. Aku menyadari. Mau tidak mau aku harus menerima semua ini. Menerima kepergiannya. Saat itu akupun teringat perkataannya.

>_</

Airmataku kembali menetes saat kuselesaikan ceritaku. Aku... sungguh sampai saat ini aku masih berharap kalau itu semua mimpi.

GREB.
“Ue—“
“Kaachan jangan menangis lagi. Aku janji. Akan menggantikan Touchan menjaga Kaachan dan senyuman Kaachan. Akan kubuktikan kalau Touchan tidak sia sia mengorbankan nyawanya untuk...untukku...hiks...”

Putraku...dia menangis. Sikapnya ini semakin membuatku tidak bisa menahan tangisanku lagi. Airmata ini pun tertumpah kembali. Namun airmata ini berbeda dengan air mataku dulu. Airmata ini adalah airmata kebahagiaan.

“Aku tidak pernah menyesal ataupun jijik telah terlahir diantara kalian. Sebaliknya... Uechan sangat bahagia sekali bisa berada di keluarga ini...” tangisnya. Kupeluk tubuhnya yang bergetar itu.


“Hoo?? Uechan? Itukan nama panggilanku dulu?”
“Kenapa? Aku kan hanya ingin mengenang dirimu pada anak ini.”
“Kau kira aku sudah mati apa?”
“Terimakasih atas kebahagiaan yang telah kau berikan padaku...”
“Tidak, Ruu. Kau harus tetap disini. Tetap jagalah Uechan baik baik. Biar aku pergi.”
“Kumohon ini permintaanku, Ruu. Tetaplah disini. Hati hatilah. Aku mencintaimu dan Uechan...”

‘Kau tidak perlu khawatir, Rei. Aku dan Uechan baik baik saja. Saat ini kami berdua sangat bahagia karenamu. Reita, kitto kawarazu aishiteiru...’ bisikku dalam hati sambil menatap langi musim semi saat ini.

おわり

Sepertinya ff ane makin hari makin gaje n makin abal... saa~ mohon KRITIKSARAN CACIMAKI COMMENTLIKEnya.... onegai..... FREE 20000000% !!!!
DONT BE SILENT READER!!!
Yang keberatan di tag silahkan bilang dan remove yak??

Tidak ada komentar:

Posting Komentar